Jumat, 16 Mei 2008

mandailing kutercinta

PELESTARIAN WARISAN BUDAYA MANDAILING

oleh Drs. Pengaduan Lubis

1. Bangsa Mandailing Suku bangsa Mandailing atau kelompok etnis (ethnic group) Mandailing adalah salah satu dari sekain ratus suku bangsa penduduk asli Indonesia. Dari zaman dahulu sampai sekarang suku bangsa tersebut turun-temurun mendiami wilayah etnisnya sendiri yang terletak di Kabupaten Tapanuli Selatan, Provinsi Sumatra Utara.
Menurut tradisinya orang Mandailing menamakan wilayah etnisnya itu Tano Rura Mandailing yang artinya ialah tanah lembah Mandailing. Tapi namanya yang populer sekarang ialah Mandailing, sama dengan nama suku bangsa yang mendiaminya.
Berdasarkan tradisi masa lalu, wilayah etnis Mandailing terdiri dari dua bagian, yang masing-masing dinamakna Mandailiang Godang (Mandailing Besar), berada di bagian utara dan Mandailing Julu (Mandailing Hulu), berada di bagian selatan dan berbatasan dengan daerah Provinsi Sumatra Barat.
Masyarakat Mandailing merupakan masyarakat agraris yang patrilineal. Sebagian besar warganya bertempat tinggal di daerah pendesaan dan hidup sebagai petani dengan mengolah sawah dan mengerjakan kebun karet, kopi, kulit manis, dsb.
Sampai pada masa pemerintahan kolonial Belanda penduduk di kawasan Mandailing Godang dipimpin oleh raja-raja dari marga (clan) Nasution, sedangkan penduduk di kawasan Mandailing Julu dipimpin oleh raja-raja dari marga Lubis. Pada masa itu di kedua kawasan tersebut terdapat banyak kerajaan tradisional yang kecil-kecil berupa komunitas yang dinamakan Huta atau Banua. Masing-masing mempunyai kesatuan teritorial dan pemerintahan yang otonom.
Eksistensi masyarakat Mandailing sebagai suku bangsa atau kelompok etnis diperlihatkan dan dikukuhkan oleh kenyataan bahwa masyarakat Mandailing mempunyai kesatuan kebudayaan dan juga bahasa sendiri yang membuatnya berbeda atau dapat dibedakan dari suku bangsa yang lain. Dan juga karena warga masyarkat Mandailing menyadari adanya identitas dan kesatuan kebudayaan mereka sendiri yang membuat mereka (merasa) berbeda dari warga masyarakat yang lain.
Secara historis, eksistensi atau keberadaan suku bangsa Mandailing didukung oleh kenyataan disebut nama Mandailing dalam puluh atau syair ke-13 kitab Nagarakretagama yang ditulis oleh Prapanca sekitar tahun 1365 (abad ke-14). Dalam hal ini, Said (tanpa tahun:9) antara lain mengemukakan bahwa "teks sair ke-13 Negarakertagama tersebut dalam huruf Latin bahasa Kawi, dapat dikutip sebagian sebagai berikut:
"Lwir ning nuasa pranusa pramuka sakahawat kaoni ri Malayu/ ning Jambi mwang Palembang i Teba len Darmmacraya tumut/ Kandis, Kahwas Manangkabwa ri Siyak i Rekan Kampar mwang Pane/ Kampe Haru athawa Mandahiling i Tumihang Perlak mwang i Barat//"
Seperti terlihat pada teks tersebut ekspansi Majapahit ke Malaya (Sumatra) merata sejak Jambi, Palembang, Muara Tebo, Darmasraya, Haru, Mandahiling, jelasnya Mandailing. Meperhatikan bahwa nama Mandailing tidak ada duanya di Indonesia, maka yang dimaksud tidak lain dari Mandailing yang lokasinya di Tapanuli Selatan. Demikian dikemukan oleh Said. 2. Budaya Mandailing2.1. Sistem Sosial, Adat Istiadat dan Pemerintahan Dalam waktu yang terbatas tentu tidak dapat dibicarakan budaya Mandailing secara keseluruhan. Oleh karena itu yang akan dibicarakan pada kesempatan ini hanyalah sebagian kecial dari unsur dan aspeksnya saja.
Meskipun sudah banyak terjadi perubahan, tapi sampai saat ini, dalam struktur masyarakat Mandailing yang patrilineal terdapat kelompok-kelompok kekerabatan yang dibentuk berdasarkan hubungan darah (blood ties) dan hubungan perkawinan (affinial ties). Kelompok kekerabatan yang dibentuk berdasarkan hubungan darah, oleh orang Mandailing dinamakan marga (clan). Hubungan kekerabatan (kinship) antara orang-orang Mandailing dalam satu marga disebut kahanggi (abang-adik).
Suku bangsa atau masyarakat Mandailing terdiri dari banyak marga atau kelompok kerabat satu keturunan yang masing-masing punya nama sendiri. Dan di antaranya yang terbesar ialah marga Lubis dan marga Nasution. Setiap marga juga punya tokoh nenek moyangnya (ancestor) sendiri. Tokoh nenek moyang orang-orang Mandailing marga Lubis ialah seorang yang bernama Namora Pande Bosi. Orang-orang Mandailing marga Nasution punya tokoh nenek moyang yang bernama Si Baroar. Demikianlah menurut lagenda atau mitos yang diyakini oleh masyarakat Mandailing.
Kelompok kekerabatan yang dibentuk berdasarkan hubungan perkawinan (affinal ties) terdiri dari dua bagian, yaitu kelompok kerabat pemberi anak gadis dalam perkawinan (bride giver) yang dinamakan mora dan kelompok kerabat penerima anak gadis (bride receiver) yang dinamakan anak boru.
Dengan demikian dalam masyarakat Mandailing terdapat tiga kelompok kekerabatan (kingrous), yaitu mora, kahanggi (orang-orang yang se-marga atau yang punya hubungan kekerabatan berabang-adik) dan anak boru. Ketiga kelompok kekerabatan tersebut digunakan oleh masyarakat Mandailing sebagai komponen tumpuan untuk sistem sosialnya yang dinamakan Dalian Natolu (tumpuan yang tiga). Sistem sosial yang dinamakan Dalian Natolu itu berfungsi sebagai mekanisme untuk melaksanakan adat dalam kehidupan masyarakat Mandailing. Perujudan pelaksanaan adat yang menggunakan sistem sosial Dalian Natolu sebagai mekanismenya dapat dilihat pada waktu penyelenggaraan upacara adat. Dalam masyarakat Mandailing suatu upacara adat hanya dapat diselengarakan jika didukung bersama oleh mora, kahanggi dan anak boru yang berfungsi sebagai tumpuan atau komponen sistem Dalian Natolu. Kalau salah satu di antaranya tidak ikut mendukung, maka dengan sendirinya upacara adat tidak boleh atau tidak dapat diselenggarakan.
Keadaan yang demikian itu menunjukkan dan membuktikan bahwa dalam kehidupan masyarakat Mandailing adat dan pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan dari sistem sosial Dalian Natolu. Oleh karena itu, adat masyarakat Mandailing disebut adat Dalian Natolu.
Dasar dari adat Dalian Natolu sebagai pranata hidup masyarakat Mandailing ialah olong (cinta dan kasih sayang) dan domu (keakraban). Olong (cinta dan kasih sayang) antara sesama manusia melahirkan domu (keakraban) antara satu sama lain. Adanya domu (keakraban) antara manusia membuktikan bahwa mereka hidup dengan olong (cinta dan kasih sayng).
Untuk membuat olong (cinta dan kasih sayang) dan domu (keakraban) menjelma atau terujud dalam kehidupan masyarakat Mandailing, diciptakan adat yang dilandasi oleh patik (ketentuan-ketentuan dasar atau komandemen). Adat diisi dengan uhum (kaidah-kaidah dan hukum). Dan dalam kehidupan masyarakat Mandailing adat harus dijalankan menurut ugarai (tata cara pelaksanaan adat) dengan menggunakan satu sistem sosial yang dinamakn Dalian Natolu (Tumpuan Yang Tiga) sebagai mekanismenya. Demikianlah keberadaannya adat-istiadat dalam kehidupan masyarakat Mandailing sejak pra-kolonial sampai sekarang. Dan untuk membuat aktifitas kehidupan masyarakat berjalan teratur seperti yang dikehendaki oleh adat sebagai penjelmaan olong (cinta dan kasih sayang), maka pada masa lalu di setiap komunis huta terdapat satu lembaga yang menjalankan pemerintahan. Dalam lembaga pemerintahan tersebut duduk tokoh-tokoh pemimpin tradisional yang dinamakan Namora Natoras dengan dikepalai oleh seorang yang berstatus Raja Panusunan Bulung atau Raja Pamasuk. Raja Panusunan Bulung merupakan kepada pemerintahan di Huta induk (mother village), sedangkan Raja Pamusuk merupakan kepala pemerintahan di Huta yang merupakan pengembangan dari suatu Huta induk. Satu Huta induk dengan sejumlah Huta yang merupakan "anak" atau pengembangannya berada dalam satu ikatan adat yang dinamakan janjian. Tapi masing-masing huta menjalankan pemerintahan secara otonom. Dan pemerintahan dijalan secara demokratis dalam arti segala sesuatu yang berkaitan dengan urusan pemerintahan dalam suatu huta hanya dapat dilaksanakan setelah disetujui berdasarkan mufakat oleh para tokoh Namora Natoras yang duduk dalam lembaga pemerintahan secara representatif dari penduduk huta. Dan raja sebagai kepala pemerintahan tidak punya wewenagn atau otoritas untuk berbuat sesuka hati dalam hal pemerintahan tanpa persetujuan dari para tokoh Namora Natoras.
Sidang-sidang untuk urusan pemerintahan, urusan sosial dan pengadilan di satu huta diselenggarakan di Balai Adat yang dinamakan Sopo Sio Rancang Magodang atau Sopo Godang yang bangunannya terletak berdekatan dengan istana raja yang dinamakan Sopo Sio Dalom Magodang atau Bagas Godang. Adanya bangunan istana raja atau Bagas Godang dan bangunan Sopo Godang di satu tempat pemukiman, menandakan bahwa tempat pemukiman itu merupakan satu huta atau banua yang berstatus sebagai kerajaan dengan pemerintahan yang otonom.
Pada masa pemeritahan kolonial Belanda, pemerintahan tradisional Mandailing yang semula dijalankan secara demokratis, sedikit demi sedikit mulai kehilangan sifatnya yang demokratis, karena dengan kekuasaannya yang kolonialistis para penguasa Belanda menjadikan tokoh-tokoh Raja Panusunan Bulang dan Raja Pamusuk sebagai alat pemerintah kolonial untuk menindas penduduk dengan pengutipan belasting (pajak) dan pelaksanaan rodi (kerja paksa). Untuk itu penguasa kolonial memberi mereka "gaji" dan memperbesarkan kekuasaan dan hak-hak mereka dan mengangkat Raja Panusunan Bulung menjadi Kepala Kuria dan Raja Pamusuk menjadi Kepala Kampung. Pada akhirnya raja-raja yang semual tunduk kepada kedaulatan rakyat yang diwakili oleh tokoh-tokoh Namora Natoras yang duduk dalam lembaga pemerintahan, berubah menjadi raja-raja feodalistis yang memaksakan kehendaknya kepada rakyat dengan menggunakan dukungan pemerintah kolonial Belanda.
2.2. Sistem Religi Masuknya penjajahan atau pemeritahan kolonial Belanda ke Mandailing terjadi pada waktu Belanda sedang berperang dengan Kaum Paderi di Minangkabau pada tahun 1830-an. Sebelum Belanda masuk ke Mandailing, beberapa tahun lamanya Kaum Paderi sudah lebih dahulu menguasai Mandailing.
Salah satu tujuan penting dari Kaum Paderi menguasai Mandailing ialah untuk memperluaskan pengembangan agama Islam. Karena sebelum Kaum Paderi memasuki dan akhirnya menguasai Mandailing, penduduknya menganut animisme yang dinamakan pelebegu (memuja roh nenek moyang). Tapi setelah Kaum Paderi menguasai seluruh Mandailing, dengan cepat sekali hampir semua penduduknya menganut agama Islam yang dikembangkan oleh Kaum Paderi. Sejalan dengan itu, segala sesuatu yang berbau anismisme dengan cepat pula hilang atau dilenyapkan dari kehidupan masyarakat Mandailing dan berganti dengan yang Islam. Dan sampai saat ini orang-orang Mandailing terkenal sebagai pemeluk agama Islam yang cukup taat.
Pada waktu Belanda sudah berhasil mengalahkan Kaum Paderi dan mulai menduduki Mandailing, missionaris mulai mencoba menggembangkan agama Nasrani di kalangan penduduk. Tapi sama sekali tidak berhasil karena penduduk di Mandailing sudah lebih dahulu menganut agama Islam. Oleh karena itu dari dahulu sampai sekarang agama Nasrani tidak berkembang di Mandailing.
Ketika Belanda mulai memperkuat kedudukannya di Mandailing sejak pertengahan tahun 1830-an, peperangan antara Kaum Paderi dan Belanda masih terus berlangsugn, termasuk di Mandailing. Karena kekuatan Belanda lebih unggul, maka banyak di antara orang-orang Mandailing pengikut Paderi yang meninggalkan kampung halaman mereka untuk menghindari penjajahan Belanda. Di antara mereka banyak yang pindah ke Malaya (Malaysia sekarang) dan menetap turun-temurun di negeri ini sampai sekarang.
2.3. Bahasa, Aksara dan Sastra. Suku bangsa Mandailing mempunyai bahasa dan aksara sendiri. Perkembangan peradaban masyarakat Mandailing di masa lalu telah menumbuhkan bahasa Mandailing menjadi satu bahasa yang barangkali boleh dikatakan unik. Karena bahasa Mandailing terdiri dari 5 ragam bahasa yang satu sama lain berlaian kata-katanya dan konteks penggunaannya.
Kelima ragama bahasa tersebut, dalam bahasa Mandailing masing-masing dinamakan: (1). Hata somal, yaitu ragam bahasa yang digunakan terutama dalam percakapan sehari-harian. (2). Hata andung, yaitu ragam bahasa yang digunakan pada waktu meratapi jenazah. Selain itu digunakan pula oleh pengantin perempuan untuk meratap pada waktu akan meninggalkan keluarganya karena dibawa ke rumah suaminya. Di samping itu digunakan pula untuk mengungkapkan (menuliskan) perasaan duka cita dan nasib malang yang menimpa diri seseorang. Hata andung juga digunakan secara bercampur dengan hata somal untuk pidato-pidato yang disampaikan dalam upacara adat. Sastra (lisan) Mandailing juga banyak menggunakan hata andung. Oleh karena itu ragam bahasa tersebut pantas digolongkan sebagai ragam bahasa sastra. (3). Hata teas dohot jampolak, yaitu rgama bahasa caci-maki. (4). Hata sibaso, yaitu ragam bahasa yang khussu digunakan dalam pengobatan tradisional, misalnya untuk mantra dan jampi-jampi dan juga digunakan oleh Sibaso (shaman) pada waktu mengalami kesurupan (trance). (5). Hata parkapur, yaitu ragam bahasa sirkumlokusi yang khusus digunakan oleh orang-orang berada di hutan.
Selain dari kelima ragam bahasa tersebut, pada dahulu masyarakat Mandailing memiliki pula ragam bahasa yang dinakan hata bulung-bulung (bahasa daun-daunan). Ragam bahasa tersebut dinamakan hata bulung-bulung karena yang digunakan sebagai kata-katanya ialah daun tumbuh-tumbuhan. Pada masa dahulu ragam bahasa daun-daunan itu, terutama digunakan oleh muda-mudi untuk mengungkapkan isi hati mereka ketika dilanda oleh percintaan.
Sayang sekali sebagian besar dari ragam bahasa yang sangat kaya itu sudah hampir punah sama sekali karena orang-orang Mandailing tidak membiasakan diri lagi untuk menggunakannya.
Selain mempunyai bahasa sendiri, suku bangsa Mandailing juga mempunyai aksara yang dinamakan surat tulak-tulak. Pada masa dahulu aksara tersebut terutama digunakan untuk menuliskan ilmu pengobatan, mantra-mantra, ilmu perbintangan (astronomi) dan andung-andung (ratapan) dalam kitab tradisional yang terbuat dari kulit kayu atau beberapa ruas bambu. Kitab tradisional tersebut dinamakan pustaha.
Suku bangsa Mandailing memiliki sastra tradisional terdiri dari prosa dan puisi. Kebanyakan di antaranya berupa sastra lisan, tapi ada juga yang tertulis, seperti andung-andung (ratapan) atau kisah penderitaan yang dituliskan pada ruas-ruas bambu.
Dalam tradisi sastra Mandailing terdapat dua macam prosa yang paling populer, yang masing-masing dinamakan turi-turian dan hobarna. Turi-turian banyak berupa mite (mitos) dan legenda yang pada masa dahulu dipandang sebagai cerita-cerita biasa (tidak dipandang sakral). Pada masa dahulu turi-turian yang banyak menggunakan ragam bahasa sastra (hata andung) dituturkan oleh penutur cerita yang dinamakan parturi.
Puisi dalam sastra Mandailing dinamakan ende-ende. Kebanyakan di antaranya berbentuk pantun atau syair.
Sastra yang dimiliki oleh suku bangsa Mandailing tidak terbatas pada sastra yang bersifat tradisional saja, tapa ada juga yang dapat digolongkan sebagai sastra non-tradisional (modern), yaitu yang berupa novel yang banyak ditulis dan diterbitkan sampai tahun 1930-an.
Pada masa ini sastra Mandailing sudah mengalami pasang surut karena warga masyarakat Mandailing kebanyakan tidak lagi menggemarinya atau sudah sangat mengabaikannya.
2.4. Kebudayaan Fisik Arsitektur atau seni bina adalah bagian yang penting dari kebudayaan fisik masyarakat Mandailing. Terutama arsitektur atau seni bina bangunan adat berupa istana raja yang dinamakan Sopo Sio Dalam Mangadong atau Bagas Godang dan balai sidang adat yang dinamakan Sopo Sio Rancang Magodang atau Sopo Godang.
Kedua bangunan adat tersebut bukan hanya penting bagi masyarakat Mandailing dari segi penggunaan praktisnya saja. Tetapi juga dari keberadaannya sebagai lambang status untuk menunjukkan kehormatan, kemuliaan dan kebesaran kelompok masyarakat atau komunitas di tempat kedua bangunan itu berada. Artinya jika di satu tempat terdapat bangunan Bagas Godang dan Sopo Godang, itu menandakan bahwa tempat tersebut merupakan pusat pemerintahan Huta atua Banua, yang sekaligus berarti bahwa di tempat tersebut telah diakui berdirinya satu kerajaan dengan pemerintahan yang otonom.
Bagian depan dan bagian belakang dari atap kedua bangunan tersebut yang dinamakan bindu matoga-matogu atau tutup ari dihiasi dengan ornamen tiga warna (putih, merah dan hitam) yang disebut bolang. Setiap bagian dari ornamen tersebut mengandung makna perlambang. Misalnya bagiannya yang berupa garis-garis tegak lurus yang disebut bona bulu melambangkan bahwa di tempat tersebut berdiri satu kerajaan yang marrungga soit marranting. Yaikut kerajaan yang telah mempunyai kesatuan wilayah kekuasaan atau kesatuan teritorial, mempunyai lembaga pemerintahan Namora Natoras, mempunyai Datu, Sibaso dan Ulu Balang serta raja yang mengepalai pemerintahan.
Bagian dari ornamen yang berbentuk tiga segi yang disebut bindu atau pusuk robung, melambangkan sistem sosial Dalian Natolu yang dianut oleh masyarakat setempat.
Ornamen yang diterangkan pada tutup ari bagas godang dan sopo godang berupa garis-garis geometris (garis lurus) kecuali yang menggambarkan benda-benda alam, seperti matahari, bulan dan bintang serta bunga. Fungsi utama dari ornamen tersebut bukan sekadar sebagai hiasan, tetapi berfungsi simbolik untuk menunjukkan banyak hal yang berkaitan dengan nilai budaya dan pandangan hidup masyarakat Mandailing.
Bagian-bagian dari bangunan bagas godang diberi nama juga mengandung makna simbolik. Misalnya tangga bagas godang dinamakan tangga sibingkang bayo, yang artinya ialah tangga sipengangkat orang. Maknanya ialah bahwa orang yang menaiki tangga istana raja akan bertambah kemuliaannya. Pintu bagas godang dinamakan pintu gaja manyongkir, yang artinya ialah pintu gajah menjerit. Maknanya ialah bahwa pintu istana raja senantiasa terbuka untuk dimasuki oleh rakyat.
Bangunan sopo godang (balai sidang adat) tidak berdinding. Keadaannya yang demikian itu melambangkan pemerintahan yang harus dijalankan secara demokratis. Penduduk atau rakyat harus dapat dengan bebas dan langsung menyaksikan persidangan yang dilakukan oleh Namora Natoras dan raja di balai sidang tersebut dan sekaligus dapat pula mendengar apa yang mereka bicarakan dalam persidangan.
Tiang-tiang sopo godang yang terbuat dari berbentuk segi delapan yang disebut tarah salapan. Keadaannya yang demikian itu menandakan bahwa pembangunan sopo godang sebagai balai sidang adat dikerjakan secara gotong royong oleh penduduk dari delapan penjuru mata angin.
Aspek arsitektur tradisional Mandailing juga digunakan untuk menunjukkan atau melambangkan status sosial warga masyarakat. Contohnya ialah umlah anak tangga rumah tempat tinggal penduduk. Jika anak tangga rumah jumlahnya genap, keadaan itu menandakan bahwa penghuni rumah yang bersangkutan adalah golongan hamba. Demikian pula halnya dengan rumah yang daun jendelanya dibuka arah keluar. Bentuk atap rumah juga menunjukkan status sosial orang yang menempatinya. Rumah yang atapnya menggunakan gaya yang disebut saro cino, menandakan bahwa penghuni rumah tersebut punya hubungan keluarga dengan raja dan termasuk dalam golongan bangsawan atau namora-mora. Rumah-rumah tempat tinggal yang bagian depan dan bagian belakang atapnya dihiasi dengan ornamen yang dinamakan bolang, menandakan bahwa penghuni rumah tersebut adalah kerabat dekat dari raja dan termasuk golongan bangsawan.
Bangunan bagas godang, sopo godang dan rumah penduduk di Mandailing berbentuk rumah panggung dengan menggunakan banyak tiang. Tiang-tiang bangunan yang terbuat dari kayu biasanya ditegakkan di atas batu ceper berukuran relatif besar. Penggunaan batu sebagai landasan tiang-tiang bangunan merupakan bagian dari teknik arsitektuk tradisional yang digunakan oleh orang Mandailing untuk anto goncangan gempa yang dapat meruntuhkan bangunan.
Kalau misalnya terjadi gempa, goncangannya yang kuat tidak mudah merubuhkan bangunan karena tiang-tiangnya tidak langsung tercecah atau terbenam ke tanah. Batu-batu ceper yang digunakan sebagai landasan tiang-tiang bangunan sampai batas tertentu dapat meredam sebagian goncangan gempa dan menyelamatkan bangunan dari keruntuhan yang tiba-tiba.
Pada masa sekarang tidak banyak lagi bangun-bangunan dengan arsitektur tradisional yang dapat ditemukan di Mandailing. Sebagian besar sudah punah dimakan waktu dan yang masih tersisa, rata-rata usianya sudah tua.
Berhadapan dengan keadaan yang demikian itu, tampak kesedaran untuk memelihara atau melestarikan nilai-nilai arsitektur tradisionalnya belum tumbuh di tengah masyarakat Mandailing. Malahan generasi yang sekarang rata-rata tidak memperdulikan dan tidak memahami lagi berbagai makna simbolik yang terdapat pada bangun-bangunan tradisional sebagai warisan budaya mereka sendiri. Hal itu terjadi mungkin karena berbagai perubahan sosial-budaya telah membuat simbol-simbol yang meletak pada bangunan tradisional tidak relevan lagi dengan keadaan yang sekarang.
3. Peninggalan Masa Lalu dan Pelestariannya Dalam keadaan kurang atau malahan tidak diperdulikan, di Mandailing cukup banyak terdapat peninggalan masa lalu. Di kawasan Mandailing Godang, sekitar kota kecil Panyabungan, terdapat peninggalan dari zaman pra-sejarah berupa menhir dan lumpang batu.
Peninggalan dari zaman Hindu Budha juga banyak terdapat di kawasan tersebut. Seperti runtuhan candi Siwa di desa Simangambat dan batu linga di satu tempat yang bernama Padang Mardia di dekat kota kecil Panyabungan. Menurut Schnitger (1973:14) runtuhan candi Siwa tersebut berasal dari abad ke-8 atau ke-9. Di desa Siabu juga terdapat runtuhan candi. Di tempat yang bernama Padang Mardia itu juga terdapat batu-batu besar berbentuk bundar menggambarkan bunga teratai. Mungkin batu tersebut merupakan sisa runtuhan bangunan candi zaman Budha.
Di sekitar satu desa bernama Pidoli, terdapat tempat yang bernama Saba Biara (Sawah Biara). Di tempat tersebut, dalam keadaan tertanam beberapa meter dalam tanah terdapat banyak batu bata yang tersusun rapi. Karena tempat itu bernama Saba Biara, besar kemungkinan pada masa yang lalu di situ terdapat bangunan-bangunan biara Hindu.
Di satu gunung yang bernama Sorik Marapi terdapat pilar batu yang pada permukaannya terukir tulisan dan catatan tahun 1294 Caka.
Peninggalan dari masa kolonial Belanda juga masih terdapat di beberapa tempat di Mandailing, yaitu berupa gedung-gedung sekolah yang dibangun kurang lebih satu abad yang lalu. Bangun-bangunan perkantoran Belanda yang dahulu terdapat di beberapa tempat di Mandailing pada umumnya sudah diruntuhkan dan diganti dengan bangunan baru.
Masa kolonial di Mandailing yang berlangsung kurang lebih satu abad telah membawa pengaruh arsitektur Eropa ke dalam kehidupan masyarkat Mandailing. Di kota kecil yang bernama Kotanopan sampai sekarang masih banyak terdapat bangunan rumah penduduk yang bergaya arsitektur Eropa. Demikian juga halnya dengan bangunan hotel kecil dan passanggerahan dari masa kolonial yang masih terdapat di kota kecil tersebut.
Pada masa kolonial Belanda, Kotanopan merupakan tempat kedudukan Controleur Belanda dan merupakan pusat pendidikan di kawasan Mandailing Julu. Dan di tempat itulah pasukan militer Belanda membangun benteng pertahanan pertama kali ketika mereka mulai menduduki Mandailing pada awal tahun 1830-an. Tapi bangunan benteng Belanda itu sudah lama diruntuhkan dan tak ada sisinya lagi.
Sampai tahun 1960-an di Kotanopan masih berdiri bangunan besar yang terbuat dari kayu yang digunakan untuk tempat tinggal controleur Belanda. Bangunan tersebut dikenal dengan nama Godung. Tapi kemudian bangunan kolonial itu diruntuhkan dan diganti dengan bangunan kantor Camat. Di sebelahnya sampai sekarang masih berdiri bangunan gedung sekolah rakyat zaman kolonial dan masih tetap digunakan sebagai sekolah sampai sekarang.
Di sepanjang tepi jalan yang melintasi Kotanopan sampai sekarang masih terdapat banyak rumah penduduk yang dibangun dengan gaya arsitektur Eropa. Rumah-rumah tersebut pada umumnya kepunyaan orang-orang kaya dan terpelajar di masa kolonial. Dan sekarang ditempati oleh keturunan mereka. Adanya bangun-bangunan rumah yang bergaya Eropa itu menunjukkan bahwa gologan elite di Mandailing pada masa kolonial terbuka menerima pengaruh Belanda.
Masih banyaknya terdapat bangun-bangunan dengan gaya arsitektur Eropan (Belanda) di Kotanopan, membuat kota kecil tersebut sebagai satu-satunya tempat di Mandailing yang paling kay dengan bangun-bangunan peninggalan masa kolonial. Dan keadaannya yang demikian itu diperkaya pula dengan peninggalan budaya tradisional Mandailing yang masih cukup banyak terdapat di berbagai desa yang terletak relatif tidak jauh dari Kotanopan. Peninggalan budaya tradisional Mandailing tersebut berupa bangun-bangunan rumah tradisional yang terbuat dari papan dan beratap ijuk yang sepenuhnya dibangun berdasarkan teknik arsitektur tradisional Mandailing. Dan rumah-rumah tersebut yang terdapat di beberapa desa tersebut masih ditempati oleh penduduk.
Selain itu di beberapa tempat yang merupakan kerajaan kecil di masa lalu dan terletak tidak begitu jauh dari Kotanopan masih terdapat bangunan bagas godang dan sopo godang yang telah banyak dibicarakan pada bagian yang terdahulu.
Untuk menjaga dan memelihara agar berbagai peninggalan budaya tersebut tidak punah dimakan waktu dan gelombang perubahan yang terus terjadi secara cepat, sangat diperlukan usaha-usaha untuk melestarikannya. Tetapi sayangnya, sejauh yang saya ketahui, selama ini hampir tidak ada usaha yang dilakukan oleh pihak mana pun untuk melestarikan peninggalan budaya tersebut, meskipun keadaannya sudah sangat terancam oleh usianya yang sudah tua.
Tampaknya kendala yang terutama menghambat usaha untuk melestarikan peninggalan budaya Mandailing tersebut bukanlah ketiadaan dana (uang). Tetapi kurangnya kesadaran bahwa peninggalan budaya tersebut tinggi nilainya.
Di samping tidak adanya usaha untuk melestarikan peninggalan budaya Mandailing tersebut, usaha untuk memanfaatkannya buat pengembangan pariwisata (tourism) di Mandailing juga tidak berkembang. Sampai saat ini baru siap satu biro perjalan (travel bureau) dari Medan yang sudah mencoba memanfaatkan peninggalan budaya di Mandailing untuk bisnes parawisata. Usaha itu dilakukannya dengan menbangun restoran dan penginapan kecil di satu tmpat yang terletak berdekatan dengan desar Usor Tolang yang mempunyai banyak rumah traditional Mandailing. Desa tersebut terletak hanya beberapa kilo meter saja dari Kotanopan yang telah disebutkan tadi.
Kalau kadang-kadang saya berbicara dengan orang lain mengenai peninggalan atau warisan budaya Mandailing yang kini terancam oleh kepunahan, orang lain kawan saya bicara sering sekali bertanya dengan rasa heran, mengapa hal itu bisa terjadi sedangkan orang Mandailing banyak yang kaya dan berpendidikan tinggi. Tentu saja sulit bagi saya untuk menjawab pertanyaan yang demikian itu. Tapi akhirnya saya mengambil kesimpulan bahwa kendala yang terutama menghambat usaha pelestarian warisan budaya Mandailing bukan ketiadaan dana (uang), tapi kurangnya kesadaran bahwa peninggalan warisan budaya Mandailing mempunyai nilai yang tinggi, namun demikian masih saja diabaikan.
Usaha untuk melestarikan warisan budaya Mandailing yang peninggalannya masih cukup banyak terdapat di Mandailing Julu masih belum berkembang. Tapi belakangan ini, di satu kawasan yang bernama Ulu Pungkut, tidak jauh dari Kotanopan, beberapa tokoh yang berasal dari tempat tersebut sudah mendirikan bangunan bagas godang dan sopo godang yang baru di desa asal mereka masing-masing. Saya tidak tahu dan tidak dapat memastikan apakah hal itu satu pertanda bahwa kesadaran untuk melestarikan warisan budaya etnisnya sudah mulai tumbuh di kalangan masyarkat Mandailing. Mudah-mudahan saja begitu.
Medan, akhir Oktober 1998.